Senin, 18 Maret 2013

Social History.. Pentingkah?

Ketika pertama kali saya melihat slide 1 yang bertuliskan "Social History" di kelas teknik wawancara, saya sudah menerka-nerka secara garis besar materi yang akan dibahas siang ini. Istilah social history tidak asing untuk saya karena beberapa mata kuliah yang lain pernah menyinggung materi tersebut. But, it's ok.. Tentunya pembahasan kali ini akan lebih mendalam, tentunya dengan contoh nyata yang dibagikan oleh Ibu Henny :D

Social history? Apa hubungan antara social history dengan proses wawancara yang dilakukan psikolog?

Social history berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh psikolog biasanya pada awal sesi pertemuan yang menyakut masalah sosial klien. Konteks yang dibicarakan berkaitan dengan perkembangan masalah yang dihadapi oleh klien, misalnya hubungan klien terhadap keluarganya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa perlu mengetahui riwayat sosial klien? Jawabannya karena cerita yang disampaikan antara satu anggota dengan anggota keluarga yang lain bisa saja berbeda atau makna yang dihayati berbeda antara sesama anggota keluarga. Oleh karena itu, data mengenai riwayat sosial klien sangat dibutuhkan. Di samping untuk melengkapi data, sebagai psikolog perlu juga mengetahui makna sosial yang dihayati oleh klien.

Pertanyaan ketiga, apa tujuan untuk melengkapi data seperti mengetahui riwayat sosial klien? Jawabannya adalah untuk membuat treatment yang berbeda antara satu klien dengan klien yang lainnya. Perlu menjadi catatan bahwa satu treatment belum tentu cocok oleh semua klien dengan gangguan mood, misalnya. Sebagai psikolog harus memahami case by case, tidak menyamaratakan antara satu kasus dengan kasus yang sekiranya sama.

Tentunya banyak aspek yang perlu ditanya dan dibahas ketika proses wawancara, seperti riwayat keluarga, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, riwayat pernikahan, relasi interpersonal klien, kehidupan rekreasi, riwayat seksual klien, riwayat medis, psychiatric/psychotherapy history, legal history, riwayat alkohol atau obat-obatan, dan apakah klien perokok atau ketergantungan caffeine. Data yang diperoleh tentunya sangat dibutuhkan oleh psikolog untuk lebih memahami permasalahan klien ataupun menentukan treatment yang tepat. Psikolog hendaknya harus mengetahui secara detail mengenai social history klien yang diterima. Menjawab pertanyaan judul artikel ini, apakah penting social history? Yaaa, menurut saya sangat penting.. :)

Have a nice day, readers :D

Minggu, 17 Maret 2013

Keterampilan Dasar Wawancara

"Apa yang Anda rasakan saat ini?"

Pertanyaan Ibu Henny ketika kelas teknik wawancara terdengar sederhana tetapi saya tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut.... Miriskah? Jujur saja perasaan saya ketika kelas berlangsung adalah biasa-biasa saja dan yang menjadi pertanyaan, apakah biasa-biasa saja tersebut adalah perasaan? Yang membuat saya sedikit tenang adalah mendengar beberapa teman-teman saya di dalam kelas merasa hal yang sama seperti saya, yaitu biasa-biasa saja.. (Yeyyy, setidaknya bukan saya sendiri yang merasa demikian, jadi saya tidak terlalu merasa aneh.. lol)

Sering kali kita sulit untuk memahami diri sendiri, seperti perasaan apa yang kita rasakan saat ini... Yahhh karena memang tidak ada peristiwa penting yang terjadi saat itu.. Hal tersebut dapat menjadi pembelaan sebagian orang, namun apakah Anda akan terus menoleransi pembelaan tersebut dan membiarkan ketidakpekaan terus berkembang? Padahal salah satu keterampilan dasar untuk menjadi pewawancara, dalam hal ini adalah psikolog klinis adalah peka terhadap perasaan.. Perasaan siapa? Tentunya perasaan klien. Untuk menjadi peka dengan perasaan orang lain, kita harus peka terhadap perasaan sendiri. Kemudian peka terhadap diri sendiri tersebut dapat dijadikan dasar untuk memahami orang lain.. Seperti kita ketahui bahwa sebagai pewawancara kita harus memiliki rasa empati di mana rasa empati tersebut dapat terasah jika kita peka terhadap perasaan sendiri maupun orang lain. Pahami afekmu sendiri, baru orang lain. Pakailah sepatunya, baru Anda dapat merasakan perasaannya......

Manusia memiliki dua telinga dengan satu mulut.....
Banyaklah mendengarkan orang lain dibandingkan banyak bicara...
Untuk mendapatkan data yang baik ketika wawancara adalah dengarkanlah apa yang dikatakan oleh klien dengan seksama. Dengar dan catat kata-kata yang sering diulang klien ataupun perilaku klien yang tampaknya penting. Pahami dan cermati segala sesuatu yang diutarakan oleh klien.

Selain itu, keterampilan lain yang harus dimiliki oleh pewawancara yang baik adalah attending behavior. Jagalah sikap Anda ketika sedang berbicara dengan orang lain. Mendengarkan tidak hanya eye-contact dengan lawan bicara, tetapi perhatikan apakah sikap Anda memang menunjukkan sikap sebagai pendengar yang baik. Coba refleksi diri, apakah Anda nyaman ketika berbicara dengan orang lain yang matanya pada Anda, tetapi tangannya terus mengusap rambut, menekan-nekan pena, atau bahkan menggulung kemejanya... Binalah rapport yang baik, ciptakan lingkungan yang hangat agar klien dapat berbicara bebas dan merasa dihargai kehadirannya.

Have a nice day, readers :)

Minggu, 10 Maret 2013

Wawancara dalam Industri dan Pendidikan

Sesuai dengan SAP, hari Senin kemarin, mahasiswa teknik wawancara kelas A melanjutkan persentasi kelompok mengenai hasil wawancara praktisi industri organisasi dan praktisi pendidikan. Tiga kelompok pertama memaparkan hasil wawancara praktisi yang bekerja di perusahaan (HRD) sedangkan tiga kelompok selanjutnya adalah praktisi yang bekerja di sekolah (guru bimbingan konseling).

Berkaitan dengan persentasi minggu lalu, proses wawancara memang sangat dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Minggu lalu dibahas juga mengenai psikolog klinis anak dan dewasa selalu menggunakan teknik wawancara selama proses menangani klien. Tidak hanya psikolog klinis, psikolog atau praktisi yang bekerja di dunia industri organisasi atau sekolah pun selalu menggunakan teknik wawancara ketika sedang bekerja. Para praktisi tersebut mengungkapkan beragam definisi wawancara, tetapi pada dasarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa wawancara adalah proses tatap muka, mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan, serta menggali informasi atau data yang dibutuhkan.

Praktisi PIO menggunakan wawancara dalam banyak hal, antara lain pada proses rekrutmen karyawan baru, promosi karyawan yang akan naik jabatan, ataupun ketika menangani karyawan yang secara tiba-tiba menunjukkan performa kerja yang buruk. Sebelum melakukan wawancara calon karyawan baru, praktisi PIO akan mempersiapkan draft kriteria karyawan yang dibutuhkan perusahaan. Tentunya hasil dari wawancara tidak dapat dijadikan data tunggal untuk memilih karyawan. Keputusan akhir menerima karyawan baru harus didampingi dengan hasil observasi, psikotes, dan CV yang sudah dibuat oleh calon karyawan. Tidak hanya draft kriteria karyawan yang harus dipersiapkan, kondisi fisik dan sikap profesionalisme yang direalisasikan menjadi hal penting ketika melakukan wawancara. Segala macam permasalahan pribadi hendaknya dikesampingan lebih dahulu agar proses wawancara dapat dilakukan dengan baik.
Selain itu, wawancara juga digunakan ketika karyawan tidak menunjukkan peningkatan performa kerja. Pewawancara, dalam hal ini biasanya HRD, memanggil karyawan tersebut dan menanyakan kendala yang sedang dihadapi. Tujuan wawancara tersebut agar karyawan tersebut dapat kembali bertugas dan tidak mendapatkan surat peringatan ataupun dikeluarkan dari perusahaan.

Teknik wawancara juga dilakukan dalam konteks pendidikan. Wawancara dilakukan oleh guru BK yang memang bertugas untuk memantau perkembangan psikologis siswa yang ada dalam sebuah sekolah. Untuk mejadi guru BK memang bukanlah hal yang mudah, di mana para siswa biasanya cenderung negatif ketika mendengar "Guru BK". Para siswa pada umumnya beranggapan bahwa anak-anak yang dipanggil ke ruang konseling adalah anak-anak yang bermasalah. Oleh karena itu, siswa sendiri pun merasa malas dan tidak mau dekat dengan ruang konseling dan guru BK yang ada di sekolahnya.

Untuk menjadi seorang guru BK, tentunya memiliki tantangan tersendiri, yaitu mengubah pandangan bahwa ruang konseling adalah tempat yang menyeramkan dan mencoba mendekatkan diri dengan para siswanya. Jika para siswa merasa dekat dan nyaman dengan guru BKnya, maka siswa tidak enggan membicarakan masalah yang sedang dihadapinya, sehingga siswa tersebut dapat menyelesaikan masalah yang membebaninya dan kembali belajar di sekolah. Sebenarnya tergantung dari kedua pihak, bagaimana guru BK bersikap dengan siswanya dan bagaimana siswanya memandang sosok seorang guru BKnya. Guru BK dapat dijadikan teman bercerita yang baik, setidaknya begitu menurut saya, bagaimana dengan Anda? :)