Minggu, 26 Mei 2013

Praktikum dan Kunjungan Panti

Setelah tiga minggu selesai praktikum teknik wawancara sebagai psikolog PIO, pendidikan, dan klinis, saya banyak mendapatkan pengalaman. Saya dapat mempraktekkan teori-teori yang telah dipelajari di mata kuliah teknik wawancara yang berlangsung selama satu semester. Selain itu, saya dapat mengasah inisiatif menjawab pertanyaan secara langsung ketika harus berperan menjadi klien.
Hal yang paling mengasyikan dalam hal ini adalah selain menggunakan pakaian formal layaknya psikolog sungguhan, kami pun diobservasi langsung oleh teman. Selain itu, saya mendapatkan feedback selama saya menjadi seorang pewawancara. Jadi, saya dapat mengetahui gerak-gerik yang mungkin tanpa saya sadari dilakukan.
Pengalaman menjadi pewawancara diteruskan.... Kami, mahasiswa teknik wawancara melakukan kunjungan ke panti. Kelompok saya mengunjungi salah satu panti tuna daksa di daerah Jakarta.
Pertama kali, ketika saya sampai bersama teman kelompok, saya melihat seorang laki-laki berusia sekitar 23 tahun dengan keadaan kaki tidak sempurna, sehingga dia tidak dapat berjalan dengan baik. Laki-laki tersebut membukakan pintu pagar ketika mobil kami sampai di panti dengan tersenyum.  Saya merasa saya orang yang beruntung karena hingga detik ini saya masih bisa berjalan dengan kedua kaki saya..
Setelah keluar dari mobil, saya dan teman-teman sekelompok menunggu rombongan lain. Setelah meminta ijin kepada kepala panti, pencarian subyek dapat dilakukan. Kami dikumpulkan di suatu aula besar di mana penghuni panti sudah duduk dan melihat ke arah kami... Penjaga panti menyambut kami dan mempersilahkan kami untuk mencari subyek sendiri..
Kami tampak bingung ketika dipersilahkan mencari subyek sendiri. Saya dan teman-teman saling menatap satu sama lain.  Kami merasa canggung karena selama melakukan kunjungan ke panti untuk mata kuliah lain, penghuni panti dibiarkan melakukan aktivitas biasa, tidak dikumpulkan seperti ini. Setelah beberapa menit saya melihat sekelinling aula, akhirnya saya tertarik dengan seorang bapak-bapak yang duduk di  atas kursi roda, di pojok aula. Saya mulai memperkenalkan diri dan proses wawancara berlangsung.
Bapak yang saya wawancarai sungguh luar biasa. Bapak tersebut menceritakan sepenggal pengalaman hidupnya. Beliau mampu menerima keadaannya dan masih sangat bersyukur karena masih diberi kehidupan oleh Tuhan. Padahal, menurut saya pribadi, dengan keadaan seperti itu, saya tidak tahu apakah saya masih bisa semangat menghadapi hidup. Dan satu pelajaran yang dapat saya petik dalam kunjungan panti kali ini.... Yaitu bersyukur :)

Seberapa pun sulit hidup yang kita lalui, pada akhirnya tetaplah dapat diselesaikan.. Semua terasa manis ketika kita mau bersyukur tentang apa yang terjadi hari ini... :)

Kamis, 02 Mei 2013

Aplikasi Teknik Wawancara

Sesuai dengan judul artikel, kali ini saya akan membahas materi perkuliahan kelas teknik wawancara mengenai pengaplikasian teknik wawancara dalam berbagai setting, seperti dalam dunia pendidikan dan Psikologi Industri Organisasi (PIO).

Dalam dunia sekolah, siswa sering mengalami masalah akademik maupun sosial sehingga siswa tersebut menjadi kurang dapat mengembangkan dirinya sendiri ataupun prestasi turun atau bahkan terjun bebas. Seperti kita ketahui bahwa tidak semua siswa mau bertemu psikolog pendidikan ataupun guru BK yang ada di sekolahnya. Mereka merasa enggan jika harus masuk ke ruangan konsultasi, karena takut image yang buruk dari teman-teman.. Yahhh, setidaknya itu yang saya rasakan ketika dulu masih duduk di bangku SMA :D

Padahal dengan adanya bantuan dari psikolog pendidikan ataupun guru BK, siswa setidaknya dapat mengungkapkan kendala apa yang dialami dan dapat diarahkan menjadi lebih baik. Tentunya untuk mendapatkan informasi tersebut digunakan teknik wawancara. Teknik wawancara dapat digunakan untuk menangani masalah lain, seperti masalah proses belajar mengajar di dalam kelas, sistem sekolah yang mungkin kurang baik, ataupun masalah siswa yang begitu kompleksnya. Masalah yang sering di alami oleh siswa mencakup behavioral problems (misal bullying), kesulitan belajar, masalah lingkungan sekolah atau di rumah, ataupun penempatan jurusan.


Tujuan dilakukan wawancara tentunya untuk mengetahui segala informasi yang berkaitan dengan siswa, memahami keadaan dan masalah yang dialami siswa, verifikasi (pengakuan vs realita dari siswa dengan pengakuan dari pihak lain yang terlibat), menegakkan diagnosa, serta memantau perkembangan siswa setelah diberikan arahan maupun treatment.

Untuk mendapatkan data yang kaya, tentunya sebagai pewawancara harus melakukan wawancara langsung dengan siswa, orangtua siswa, guru, ataupun orang-orang yang berkaitan dengan siswa tersebut. Setelah data dirasa cukup, maka pewawancara harus mengolah dan membuat kesimpulan hasil wawancara yang telah dilakukan.
Wawancara tidak hanya dapat dilakukan dalam setting pendidikan saja. Wawancara tentunya dapat dilakukan dalam setting industri dan organisasi, misalnya  untuk:
1. Proses seleksi dan penempatan karyawan baru
2. Evaluasi kerja karyawan
3. Ketika menetapkan job description atau job specification suatu jabatan
4. Pendampingan pada karyawan (coaching)
5. Menentukan promosi, mutasi, atau demosi (turun jabatan) karyawan
6. Exit interview untuk karyawan yang dinilai perusahaan sebenarnya memiliki kinerja yang baik

Berkaitan dengan materi, hari Senin lalu Ibu Henny mengundang seorang praktisi yang bekerja dalam industri organisasi, yaitu Bapak Jefri untuk berbagi kepada mahasiswa teknik wawancara. Beliau menceritakan bahwa wawancara sangat penting dalam dunia industri organisasi. Sebagai seorang recruitment specialist, beliau selalu menggunakan teknik wawancara ketika berhadapan dengan calon karyawan. Beliau juga menceritakan suka duka menjadi seorang recruitment specialist. Sukanya adalah banyak mendapatkan segala informasi mengenai bidang pekerjaan lain, sedangkan dukanya sering mendapatkan "teror" telp dari calon karyawan yang tidak sabar mendapatkan keputusan penerimaan. Selain itu, beliau juga menyarankan bagi kami pemula, untuk mempermudah proses wawancara, kami harus membawa draft pertanyaan serta mengetahui secara jelas kriteria jabatan yang diinginkan. Bapak Jefri juga menyampaikan bahwa tidak ada batasan pasti mengenai durasi wawancara rekrutmen, semua tergantung kita sebagai pewawancara, asalkan data dirasa cukup, wawancara dapat diakhiri. Setelah mendengarkan pengalaman yang dibagikan Bapak Jefri, saya mulai tertarik dengan dunia industri organisasi. Sepertinya menarik yah, bekerja dengan tim kerja dan mendengarkan banyak informasi dari orang lain :D

Senin, 18 Maret 2013

Social History.. Pentingkah?

Ketika pertama kali saya melihat slide 1 yang bertuliskan "Social History" di kelas teknik wawancara, saya sudah menerka-nerka secara garis besar materi yang akan dibahas siang ini. Istilah social history tidak asing untuk saya karena beberapa mata kuliah yang lain pernah menyinggung materi tersebut. But, it's ok.. Tentunya pembahasan kali ini akan lebih mendalam, tentunya dengan contoh nyata yang dibagikan oleh Ibu Henny :D

Social history? Apa hubungan antara social history dengan proses wawancara yang dilakukan psikolog?

Social history berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh psikolog biasanya pada awal sesi pertemuan yang menyakut masalah sosial klien. Konteks yang dibicarakan berkaitan dengan perkembangan masalah yang dihadapi oleh klien, misalnya hubungan klien terhadap keluarganya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa perlu mengetahui riwayat sosial klien? Jawabannya karena cerita yang disampaikan antara satu anggota dengan anggota keluarga yang lain bisa saja berbeda atau makna yang dihayati berbeda antara sesama anggota keluarga. Oleh karena itu, data mengenai riwayat sosial klien sangat dibutuhkan. Di samping untuk melengkapi data, sebagai psikolog perlu juga mengetahui makna sosial yang dihayati oleh klien.

Pertanyaan ketiga, apa tujuan untuk melengkapi data seperti mengetahui riwayat sosial klien? Jawabannya adalah untuk membuat treatment yang berbeda antara satu klien dengan klien yang lainnya. Perlu menjadi catatan bahwa satu treatment belum tentu cocok oleh semua klien dengan gangguan mood, misalnya. Sebagai psikolog harus memahami case by case, tidak menyamaratakan antara satu kasus dengan kasus yang sekiranya sama.

Tentunya banyak aspek yang perlu ditanya dan dibahas ketika proses wawancara, seperti riwayat keluarga, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, riwayat pernikahan, relasi interpersonal klien, kehidupan rekreasi, riwayat seksual klien, riwayat medis, psychiatric/psychotherapy history, legal history, riwayat alkohol atau obat-obatan, dan apakah klien perokok atau ketergantungan caffeine. Data yang diperoleh tentunya sangat dibutuhkan oleh psikolog untuk lebih memahami permasalahan klien ataupun menentukan treatment yang tepat. Psikolog hendaknya harus mengetahui secara detail mengenai social history klien yang diterima. Menjawab pertanyaan judul artikel ini, apakah penting social history? Yaaa, menurut saya sangat penting.. :)

Have a nice day, readers :D

Minggu, 17 Maret 2013

Keterampilan Dasar Wawancara

"Apa yang Anda rasakan saat ini?"

Pertanyaan Ibu Henny ketika kelas teknik wawancara terdengar sederhana tetapi saya tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut.... Miriskah? Jujur saja perasaan saya ketika kelas berlangsung adalah biasa-biasa saja dan yang menjadi pertanyaan, apakah biasa-biasa saja tersebut adalah perasaan? Yang membuat saya sedikit tenang adalah mendengar beberapa teman-teman saya di dalam kelas merasa hal yang sama seperti saya, yaitu biasa-biasa saja.. (Yeyyy, setidaknya bukan saya sendiri yang merasa demikian, jadi saya tidak terlalu merasa aneh.. lol)

Sering kali kita sulit untuk memahami diri sendiri, seperti perasaan apa yang kita rasakan saat ini... Yahhh karena memang tidak ada peristiwa penting yang terjadi saat itu.. Hal tersebut dapat menjadi pembelaan sebagian orang, namun apakah Anda akan terus menoleransi pembelaan tersebut dan membiarkan ketidakpekaan terus berkembang? Padahal salah satu keterampilan dasar untuk menjadi pewawancara, dalam hal ini adalah psikolog klinis adalah peka terhadap perasaan.. Perasaan siapa? Tentunya perasaan klien. Untuk menjadi peka dengan perasaan orang lain, kita harus peka terhadap perasaan sendiri. Kemudian peka terhadap diri sendiri tersebut dapat dijadikan dasar untuk memahami orang lain.. Seperti kita ketahui bahwa sebagai pewawancara kita harus memiliki rasa empati di mana rasa empati tersebut dapat terasah jika kita peka terhadap perasaan sendiri maupun orang lain. Pahami afekmu sendiri, baru orang lain. Pakailah sepatunya, baru Anda dapat merasakan perasaannya......

Manusia memiliki dua telinga dengan satu mulut.....
Banyaklah mendengarkan orang lain dibandingkan banyak bicara...
Untuk mendapatkan data yang baik ketika wawancara adalah dengarkanlah apa yang dikatakan oleh klien dengan seksama. Dengar dan catat kata-kata yang sering diulang klien ataupun perilaku klien yang tampaknya penting. Pahami dan cermati segala sesuatu yang diutarakan oleh klien.

Selain itu, keterampilan lain yang harus dimiliki oleh pewawancara yang baik adalah attending behavior. Jagalah sikap Anda ketika sedang berbicara dengan orang lain. Mendengarkan tidak hanya eye-contact dengan lawan bicara, tetapi perhatikan apakah sikap Anda memang menunjukkan sikap sebagai pendengar yang baik. Coba refleksi diri, apakah Anda nyaman ketika berbicara dengan orang lain yang matanya pada Anda, tetapi tangannya terus mengusap rambut, menekan-nekan pena, atau bahkan menggulung kemejanya... Binalah rapport yang baik, ciptakan lingkungan yang hangat agar klien dapat berbicara bebas dan merasa dihargai kehadirannya.

Have a nice day, readers :)

Minggu, 10 Maret 2013

Wawancara dalam Industri dan Pendidikan

Sesuai dengan SAP, hari Senin kemarin, mahasiswa teknik wawancara kelas A melanjutkan persentasi kelompok mengenai hasil wawancara praktisi industri organisasi dan praktisi pendidikan. Tiga kelompok pertama memaparkan hasil wawancara praktisi yang bekerja di perusahaan (HRD) sedangkan tiga kelompok selanjutnya adalah praktisi yang bekerja di sekolah (guru bimbingan konseling).

Berkaitan dengan persentasi minggu lalu, proses wawancara memang sangat dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Minggu lalu dibahas juga mengenai psikolog klinis anak dan dewasa selalu menggunakan teknik wawancara selama proses menangani klien. Tidak hanya psikolog klinis, psikolog atau praktisi yang bekerja di dunia industri organisasi atau sekolah pun selalu menggunakan teknik wawancara ketika sedang bekerja. Para praktisi tersebut mengungkapkan beragam definisi wawancara, tetapi pada dasarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa wawancara adalah proses tatap muka, mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan, serta menggali informasi atau data yang dibutuhkan.

Praktisi PIO menggunakan wawancara dalam banyak hal, antara lain pada proses rekrutmen karyawan baru, promosi karyawan yang akan naik jabatan, ataupun ketika menangani karyawan yang secara tiba-tiba menunjukkan performa kerja yang buruk. Sebelum melakukan wawancara calon karyawan baru, praktisi PIO akan mempersiapkan draft kriteria karyawan yang dibutuhkan perusahaan. Tentunya hasil dari wawancara tidak dapat dijadikan data tunggal untuk memilih karyawan. Keputusan akhir menerima karyawan baru harus didampingi dengan hasil observasi, psikotes, dan CV yang sudah dibuat oleh calon karyawan. Tidak hanya draft kriteria karyawan yang harus dipersiapkan, kondisi fisik dan sikap profesionalisme yang direalisasikan menjadi hal penting ketika melakukan wawancara. Segala macam permasalahan pribadi hendaknya dikesampingan lebih dahulu agar proses wawancara dapat dilakukan dengan baik.
Selain itu, wawancara juga digunakan ketika karyawan tidak menunjukkan peningkatan performa kerja. Pewawancara, dalam hal ini biasanya HRD, memanggil karyawan tersebut dan menanyakan kendala yang sedang dihadapi. Tujuan wawancara tersebut agar karyawan tersebut dapat kembali bertugas dan tidak mendapatkan surat peringatan ataupun dikeluarkan dari perusahaan.

Teknik wawancara juga dilakukan dalam konteks pendidikan. Wawancara dilakukan oleh guru BK yang memang bertugas untuk memantau perkembangan psikologis siswa yang ada dalam sebuah sekolah. Untuk mejadi guru BK memang bukanlah hal yang mudah, di mana para siswa biasanya cenderung negatif ketika mendengar "Guru BK". Para siswa pada umumnya beranggapan bahwa anak-anak yang dipanggil ke ruang konseling adalah anak-anak yang bermasalah. Oleh karena itu, siswa sendiri pun merasa malas dan tidak mau dekat dengan ruang konseling dan guru BK yang ada di sekolahnya.

Untuk menjadi seorang guru BK, tentunya memiliki tantangan tersendiri, yaitu mengubah pandangan bahwa ruang konseling adalah tempat yang menyeramkan dan mencoba mendekatkan diri dengan para siswanya. Jika para siswa merasa dekat dan nyaman dengan guru BKnya, maka siswa tidak enggan membicarakan masalah yang sedang dihadapinya, sehingga siswa tersebut dapat menyelesaikan masalah yang membebaninya dan kembali belajar di sekolah. Sebenarnya tergantung dari kedua pihak, bagaimana guru BK bersikap dengan siswanya dan bagaimana siswanya memandang sosok seorang guru BKnya. Guru BK dapat dijadikan teman bercerita yang baik, setidaknya begitu menurut saya, bagaimana dengan Anda? :)

Selasa, 26 Februari 2013

Psikolog?

Suatu sore, saya sedang jenuh dengan tugas-tugas kuliah yang lumayan banyak dan merencanakan merefresh pikiran dengan cara menonton televisi.. Sore itu tampaknya tidak ada acara yang menarik, sehingga saya berkali-kali menekan tombol angka-angka yang ada pada remote control TV hingga saya berhenti dan tertarik pada satu acara di stasiun televisi swasta. Acara yang ditayangkan berupa kuis di mana terdapat beberapa host ternama Indonesia yang sedang mewawancarai tiga peserta anak-anak. Acara tersebut menyajikan "kebolehan" tiga peserta anak-anak usia sekitar 5-7 tahun. Salah satu host menanyakan kepada ketiga peserta mengenai cita-cita mereka kelak. Anak-anak tersebut menjawab dokter, artis, dan salah satu profesi (kebetulan saya lupa, hehe). Karena jawaban anak-anak tersebutlah saya juga mulai berpikir dan mengingat-ingat, sebagian besar anak-anak akan menjawab profesi "itu-itu" saja ketika ditanya mengenai cita-citanya. Apakah hanya profesi "itu-itu" saja yang mereka pernah dengar? Memang profesi yang mereka inginkan sangatlah mulia karena pada dasarnya berorientasi pada pengabdian pada masyarakat. Tidak salah memang jika anak-anak sangat mengagumi sosok tertentu dan ingin menjadi sama seperti mereka. Tetapi, ada salah satu profesi yang memegang peranan penting dan tampaknya banyak dibutuhkan di zaman ini.. Yaaa, psikolog.. Apakah anak-anak memang belum terlalu familiar dengan profesi ini? Mendengar jawaban anak-anak tersebut, entah mengapa saya ingat dengan tugas Teknik Wawancara yang belum saya sentuh sama sekali. Kebetulan materi kuliah teknik wawancara kemarin membahas mengenai psikolog klinis dewasa dan psikolog klinis anak-anak. Mari kita lebih berkenalan dengan profesi yang satu ini..... :)

Psikolog klinis biasanya bekerja di Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Jiwa, membuka praktek sendiri, ataupun bekerja di klinik pengembangan diri. Secara garis besar, psikolog klinis membantu klien untuk lebih sadar mengenai permasalahan yang sedang dihadapi dan membantu klien tersebut memecahkannya.

Sama seperti namanya Psikolog Dewasa, berarti psikolog yang cenderung menangani dan membantu orang-orang dewasa, sedangkan psikolog anak lebih sering berhubungan dengan anak-anak dan permasalahan yang sering dialami oleh anak. Hal yang mendasar untuk menjadi psikolog klinis (dewasa maupun anak) adalah menguasai seluruh tahap perkembangan dan memahami masalah-masalah yang sering dihadapi orang dewasa atau anak. Dengan menguasai teori-teori tersebut, kita sebagai calon psikolog klinis lebih percaya diri ketika berhadapan dengan klien.

Salah satu cara yang digunakan para psikolog klinis untuk mengetahui dan memahami permasalahan klien adalah dengan teknik wawancara di mana dengan teknik ini klien dan psikolog bertatap muka langsung dan saling bertukar informasi dengan menggunakan bahasa verbal. Kelebihan teknik wawancata adalah data yang diperoleh lebih banyak dan lengkap, pertanyaan dapat dikembangkan atau disesuaikan dengan kebutuhan, dan dapat memastikan jawaban-jawaban yang diutarakan oleh klien. Tetapi, salah satu kelemahan teknik  tersebut adalah teknik ini sangat tergantung dengan skill pewawancara, dalam hal ini psikolog. Selain teknik wawancara, teknik lain yang sangat diperlukan untuk menangani klien adalah observasi. Dengan teknik ini, psikolog dapat memperhatikan segala perilaku mulai dari mimik wajah, gerak tangan, atau bahasa tubuh lainnya. Tidak hanya itu, hasil tes psikologi juga digunakan sebagai data untuk menentukan intervensi lebih lanjut pada klien. Perlu menjadi catatan bahwa ketiga aspek atau pilar tersebut tidak dapat berdiri sendiri, ketiganya harus saling mendukung satu sama lain agar menegakkan diagnosa yang lebih akurat. Tentunya untuk menjadi ahli dalam ketiga teknik tersebut membutuhkan jam terbang yang tinggi. Lebih banyak belajar, lebih banyak berlatih, lebih banyak terjun langsung tentunya dapat mengasah kemampuan teknik-teknik tersebut. Seiring waktu dan pengalaman, ketiga teknik ini dapat dikuasai.

Psikolog klinis mempunyai tugas yang mulia, tidak kalah dengan profesi-profesi lainnya. Apapun profesi yang kita pilih, asalkan tekun, mau berusaha, dan menjalankannya dengan hati, maka usaha dan pengabdian kita akan dihargai oleh orang lain. Kurang lebih seperti itulah profesi psikolog klinis, semoga dapat sedikit membantu dan memenuhi rasa ingin tahu para pembaca mengenai psikolog. Have a nice day, readers :)